See this article for Korea Selatan

Beberapa masalah yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia (PMI) telah muncul semenjak tahap pra-keberangkatan di dalam negeri. Masalah-masalah tersebut kemudian berkembang seiring proses migrasi dan memuncak di negara tujuan dalam berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Artikel ini menyajikan beberapa masalah umum dalam praktik rekrutmen di Indonesia yang menempatkan PMI dalam situasi rentan.

Kurangnya akses informasi

Salah satu tantangan terbesar terkait akses informasi adalah wilayah Indonesia yang begitu luas. Informasi mengenai lapangan kerja di luar negeri seringkali terpusat di daerah-daerah perkotaan saja sehingga sulit diakses oleh calon PMI, yang mayoritas berasal dari daerah pedesaan. Keterbatasan akses informasi tersebut diperparah oleh kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan, sistem transportasi yang belum memadai di sebagian tempat, dan biaya transportasi antar-pulau yang tinggi. Baru-baru ini, informasi mengenai pekerjaan di luar negeri semakin banyak didigitalisasi, tetapi kesenjangan dalam akses internet menjadi tantangan besar dalam memastikan pemerataan akses informasi. Alhasil, calo menjadi sumber informasi mengenai peluang kerja di luar negeri. Ketergantungan pada calo tersebut membuat calon PMI rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Untuk mengurangi keterlibatan calo dan memperluas akses informasi kepada calon PMI, Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah, seperti membangun Desmigratif (Desa Migran Produktif) dan Lembaga Terpadu Satu Atap. Namun salah satu tantangannya adalah informasi yang diberikan kepada calon PMI cenderung umum, tanpa memuat deskripsi spesifik tentang sifat pekerjaan di sektor-sektor tertentu dan perbedaan hak-hak pekerja yang dijamin oleh negara yang berbeda. Oleh sebab itu, calon PMI cenderung kurang persiapan. Mereka cenderung memiliki keterbatasan pengetahuan tentang hak-hak, pengaturan kerja, dan budaya di negara tujuan.

Biaya rekrutmen tinggi berujung pada jeratan utang

Agen tenaga kerja sering membebankan biaya rekrutmen yang tinggi kepada calon PMI. Dalam banyak kasus, calon PMI terpaksa berutang pada bank, meminjam uang dari keluarga atau menjual barang-barang yang mereka miliki untuk membiayai proses rekrutmen. Jeratan utang ini menempatkan mereka pada situasi rentan, terutama pada tahap penempatan, karena PMI seringkali tidak memiliki pilihan selain bertahan dalam kondisi kerja yang eksploitatif demi membayar utang-utang di negara asal. Dalam beberapa kasus lain, agen tenaga kerja memberikan pinjaman kepada calon PMI untuk membiayai proses rekrutmen. Pinjaman ini kemudian akan dibayarkan melalui skema potong gaji. Beberapa agen tenaga kerja bahkan memberikan ‘uang saku’ kepada keluarga calon PMI untuk merayu mereka. Fenomena ‘terbang sekarang, bayar nanti’ tersebut menciptakan keterikatan kerja antara PMI dan pemberi kerja. PMI terpaksa bekerja untuk membayar utang, setidaknya hingga masa potong gaji tersebut berakhir, yakni antara tiga hingga sembilan bulan.

Peran dominan agen tenaga kerja

Peran agen tenaga kerja yang besar menciptakan berbagai macam masalah terhadap calon PMI, seperti pemalsuan dokumen, pelatihan kerja yang terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, pembebanan biaya rekrutmen yang berlebih (overcharging), dan penempatan di negara-negara rawan konflik walaupun terdapat kebijakan moratorium. Agen tenaga kerja masih memiliki peran bahkan dalam penempatan calon PMI melalui skema antar-pemerintah (G-to-G) yang disepakati antara Indonesia dan Jepang. Walaupun diatur dengan ketat oleh pemerintah Indonesia dan Jepang, terdapat beberapa celah dalam proses rekrutmen calon PMI ke Jepang. Misalnya, pada tahun 2019, penambahan aspek keterampilan bahasa Jepang (JLPT) setara N5 dalam syarat pendaftaran kerja ke Jepang membuat kursus dan tes bahasa Jepang menjadi bisnis yang menguntungkan untuk pusat-pusat pelatihan bahasa Jepang, yang seringkali dimiliki dan dioperasikan oleh agen tenaga kerja. Ketiadaan aturan mengenai struktur pembiayaan membuat calon PMI rentan terhadap tindak penipuan dan overcharging. Dalam beberapa kasus, calon PMI harus membayar Rp5.000.000 hingga Rp30.000.000 untuk les bahasa dan biaya lain. Biaya yang dibebankan oleh agen tenaga kerja dapat jauh lebih tinggi, bahkan hingga mencapai Rp80.000.000, untuk calon PMI yang ingin bekerja di sektor manufaktur di Korea Selatan, Jepang dan Taiwan.

Diupdate pada 24 September 2021.