Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian bilateral mengenai perlindungan dan penempatan PMI di negara-negara lain. Namun, beberapa perjanjian tersebut telah atau akan kadaluarsa dalam waktu dekat, dan dalam beberapa kasus, penempatan PMI tidak didahului oleh perjanjian bilateral antar-negara, seperti dalam kasus Singapura. Artikel ini menyajikan gambaran umum mengenai kerja sama – atau kurangnya kerja sama – antara Indonesia dan beberapa negara tujuan yang paling populer bagi PMI.

 

Asia Tenggara

  • Malaysia

Pada 13 Mei 2006, Pemerintah Indonesia dan Malaysia menandatangani sebuah Nota Kesepahaman (MoU) terkait Rekrutmen dan Penempatan Pekerja Rumah Tangga Indonesia. Lima tahun kemudian, yakni pada 2011, perjanjian tersebut direvisi melalui pengesahan sebuah Protokol yang bertujuan untuk memperkuat pelindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia. Protokol ini juga memperpanjang masa berlaku MoU tersebut selama lima tahun, yang berakhir pada 2016. Setelah itu, tidak ada perjanjian lain yang disepakati oleh kedua negara. Namun pada 2016, Indonesia menyerahkan draf MoU baru kepada Malaysia. Diskusi terkait draf MoU ini tidak kunjung mencapai kesepakatan, utamanya mengenai tujuh hal: Sistem Penempatan Satu Kanal, jaminan sosial, upah minimum (untuk dinaikkan menjadi 1.500 ringgit), Satu PRT Satu Tugas, regularisasi pekerja migran non-prosedural, pemangkasan jumlah tes kesehatan menjadi satu saja untuk mengurangi biaya penempatan, dan penguatan layanan kekonsuleran.

  • Singapura

Sebagai salah satu negara tujuan utama untuk PMI, Singapura tidak memiliki MoU dengan Pemerintah Indonesia mengenai pelindungan dan penempatan PMI. Namun pada 2016, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Asosiasi Agen Tenaga Kerja Singapura menandatangani sebuah MoU mengenai penempatan PMI ke Singapura. Perjanjian ini masih berlaku hingga sekarang. Namun karena nuansa bisnis yang amat kental, MoU ini mengesampingkan aspek hak asasi manusia PMI. Nyatanya, tidak satu pun pasal dalam perjanjian tersebut yang secara spesifik mengatur hak-hak PMI sebagai pekerja.

  • Brunei Darussalam

Sekitar 80.000 warga Indonesia bekerja di Brunei, yang memiliki penduduk lokal sejumlah 400.000 jiwa. Ini berarti satu dari enam orang di Brunei berkewarganegaraan Indonesia. Namun walaupun jumlah PMI di Brunei besar, Pemerintah Indonesia dan Brunei tidak memiliki perjanjian apa pun mengenai pelindungan PMI. Pada Mei 2018, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan bilateral bersama Sultan Bolkiah untuk mendiskusikan isu pelindungan PMI. Hasil diskusi tersebut dijadikan dasar perancangan draf MoU. Tetapi tiga tahun sejak pertemuan bilateral itu, negosiasi antara kedua pemerintah tersebut masih berlangsung dan terhambat pada masalah kontrak kerja dan struktur pembiayaan dalam proses penempatan PMI.

 

Asia Timur

  • Jepang

Secara umum, terdapat tiga skema penempatan PMI ke Jepang, yakni: Program Kemitraan Ekonomi (EPA), Program Pelatihan Pemagang (TITP), dan Pekerja Berketerampilan Khusus (SSW). Perjanjian mengenai EPA ditandatangani oleh Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia pada 2007 silam. Melalui skema ini, kandidat perawat dan pengasuh lansia dari Indonesia ditempatkan untuk bekerja di Jepang. Pada 2019 lalu, kedua pemerintah tersebut memperpanjang MoU mengenai TITP. Dalam skema TITP, PMI ditempatkan untuk bekerja di sektor industri elektronik, bangunan, otomotif, makanan dan minuman, pertanian, perikanan, dan jasa. Namun secara hukum, PMI yang diberangkatkan melalui skema EPA dan TITP dianggap sebagai ‘pemagang’ dan bukan sebagai pekerja walaupun beban kerja mereka sama dengan pekerja pada umumnya. Di tahun yang sama, yakni 2019, Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian baru bernama Pekerja Berketerampilan Khusus (Specified Skilled Workers).

  • Taiwan

Pada 2018, Kantor Dagang Ekonomi Indonesia di Taipei dan Kantor Dagang Ekonomi Taipei di Jakarta menandatangani MoU mengenai Rekrutmen, Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Taiwan. Beberapa poin penting dalam perjanjian ini meliputi kesepakatan untuk bekerja sama dalam mendorong pelatihan dan bantuan kerja untuk perempuan dan penyandang disabilitas melalui berbagai kemitraan internasional dan regional. MoU ini juga memuat komitmen kedua negara untuk memerangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan saling berbagi informasi dan memastikan kepulangan korban secara aman ke Indonesia.

  • Hong Kong

PMI di Hong Kong merupakan kelompok pekerja migran terbesar kedua setelah pekerja migran Filipina. Namun, tidak ada perjanjian antara Pemerintah Hong Kong dan Pemerintah Indonesia mengenai pelindungan dan penempatan PMI di wilayah tersebut. Semua hal yang berkaitan dengan kesejahteraan PMI diatur oleh undang-undang yang berlaku di Hong Kong. Pada 2016 saat bertemu dengan Lai Tung-kwok, Sekretaris Keamanan Hong Kong, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menekankan pentingnya membuat MoU untuk memperkuat kerja sama bilateral terkait pelindungan PMI di Hong Kong. Usulan ini disambut baik oleh Pemerintah Hong Kong, tetapi tidak banyak kemajuan yang dapat dilihat dalam agenda tersebut.

  • Korea Selatan

Migrasi PMI ke Korea Selatan dimulai pada tahun 1994 melalui skema antar-pemerintah (government-to-government) yang disebut sebagai Program Pemagang Industri. Skema tersebut kemudian diganti dengan Sistem Izin Kerja (Employment Permit System/EPS), dan untuk itu Pemerintah Korea dan Pemerintah Indonesia menandatangani MoU terkait Penempatan Pekerja Migran Indonesia di Korea melalui Sistem Izin Kerja pada 2004. Penempatan PMI ke Korea Selatan dikelola oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Badan Pembangunan Sumberdaya Manusia Korea. Perjanjian mengenai EPS tersebut diperbaharui selama beberapa kali, yakni pada 2008, 2010, dan 2013.

 

Timur Tengah

  • Arab Saudi

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi menandatangani perjanjian mengenai Pengaturan Teknis (Technical Arrangement) pada Oktober 2018 lalu. Perjanjian ini menyepakati sebuah skema penempatan yang baru bernama Sistem Satu Kanal (One Channel System). Melalui sistem ini, PMI yang telah memiliki kualifikasi dapat ditempatkan di beberapa daerah tujuan yang telah ditentukan di Arab Saudi. Mereka hanya dapat menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan yang telah terdaftar dan terverifikasi dalam Sistem Satu Kanal tersebut.

  • Uni Emirat Arab (UEA)

Pada 2015, Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri No. 260 Tahun 2015, yang memandatkan moratorium penempatan PMI ke 19 negara tujuan di Timur Tengah, termasuk UEA. Namun pada tahun yang sama, Pemerintah UEA dan Pemerintah Indonesia menandatangani MoU mengenai Pencegahan TPPO dan Pelindungan Korban. Sejak moratorium diberlakukan, kedua pemerintah menegosiasikan aspek pelindungan PMI, termasuk kemungkinan mengimplementasikan Sistem Satu Kanal, yang juga tengah dirundingkan dengan Pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam. Menariknya, pada 2020, PT. Binawan Inti Utama dan Kementerian Dalam Negeri UEA menandatangani MoU yang bertujuan untuk menarik dan meningkatkan keterampilan PMI yang ingin bekerja di sektor kesehatan di UAE. Penandatanganan MoU ini disaksikan oleh BP2MI sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia.

  • Yordania

Tahun 2009 menandai perjanjian bilateral pertama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Yordania mengenai penempatan dan pelindungan PRT Indonesia di negara tersebut. Perjanjian ini tidak berlaku pada 2015, ketika Indonesia memutuskan untuk memoratorium penempatan PMI ke Timur Tengah. Namun beberapa usaha dilakukan untuk menempatkan PMI untuk bekerja di sektor garmen di Yordania. Misalnya, pada 2018, Duta Besar Indonesia untuk Yordania berencana menyusun MoU terkait penempatan PMI di sektor industri garmen di Yordania. Negosiasi mengenai perjanjian ini masih berjalan hingga sekarang.

Diupdate pada 24 September 2021.